Menteri PPPA

Menteri PPPA Dorong Santri Bijak Gunakan Internet, Pesantren Diminta Jadi Ruang Aman Anak

Menteri PPPA Dorong Santri Bijak Gunakan Internet, Pesantren Diminta Jadi Ruang Aman Anak
Menteri PPPA Dorong Santri Bijak Gunakan Internet, Pesantren Diminta Jadi Ruang Aman Anak

JAKARTA - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi menegaskan pentingnya peran pesantren dalam melindungi generasi muda dari berbagai bentuk kekerasan, terutama yang terjadi di ruang digital.

Ia mengajak para santri di seluruh Indonesia untuk menggunakan internet secara bijak, di tengah meningkatnya risiko kekerasan, perundungan, dan eksploitasi seksual online.

Dalam seminar bertajuk Pesantren Ramah Anak yang digelar di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, Arifah menekankan bahwa santri memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan dalam menciptakan ruang digital yang aman dan beretika.

“Pesantren memiliki posisi strategis dalam membentuk karakter generasi muda Indonesia yang berakhlak dan berjiwa kebangsaan. Perlindungan anak merupakan hal esensial jika kita ingin mencapai Indonesia yang maju. Anak-anak adalah calon pemimpin bangsa yang wajib kita lindungi,” ujar Arifah Fauzi.

Pesantren Didorong Jadi Teladan Perlindungan Anak

Arifah menyebutkan, pesantren bukan hanya lembaga pendidikan agama, tetapi juga ruang pengasuhan yang dapat menanamkan nilai kemanusiaan dan empati sejak dini. Oleh karena itu, pemerintah melalui Kementerian PPPA terus mendorong penerapan Pesantren Ramah Anak, yaitu konsep pesantren yang mengedepankan perlindungan anak dari kekerasan dan menjunjung tinggi hak-hak mereka.

Menurutnya, pesantren ramah anak merupakan bagian penting dalam membangun generasi berkarakter. “Kami berkomitmen memperkuat ekosistem perlindungan anak di lingkungan pesantren melalui berbagai langkah strategis,” kata Arifah.

Beberapa langkah yang dimaksud antara lain adalah integrasi prinsip perlindungan anak ke dalam tata kelola pesantren bersama Kementerian Agama, pelatihan bagi para pengasuh, ustadz, dan ustadzah tentang pengasuhan tanpa kekerasan, pembentukan Satgas Perlindungan Anak Pesantren (Satgas PAP), serta penguatan sistem pelaporan dan pengaduan berbasis pesantren melalui SAPA 129 dan SIMFONI PPA.

Langkah-langkah tersebut, lanjutnya, diharapkan mampu menjadikan pesantren sebagai tempat belajar yang aman, inklusif, serta menumbuhkan budaya saling menghormati di antara santri dan tenaga pengajar.

Tantangan Perlindungan Anak di Era Digital

Di sisi lain, Arifah menyoroti tantangan yang dihadapi dalam perlindungan anak di era digital yang semakin kompleks. Kemajuan teknologi dan kemudahan akses internet telah membuka peluang positif untuk pembelajaran, namun juga membawa risiko besar bagi anak-anak dan remaja, termasuk santri.

Kekerasan dan eksploitasi seksual berbasis online menjadi ancaman nyata yang dapat menimpa siapa pun tanpa batas lokasi dan waktu. Karena itu, pemanfaatan teknologi digital harus disertai dengan pendidikan literasi digital yang kuat.

“Kami ingin memastikan anak-anak di pesantren tidak hanya paham agama, tetapi juga memiliki kemampuan berpikir kritis, bijak menggunakan internet, serta mampu melindungi diri dari potensi kekerasan online,” tegasnya.

Pemerintah, melalui Kementerian PPPA, terus bekerja sama dengan berbagai pihak untuk memperluas jangkauan edukasi dan pengawasan dunia digital di kalangan santri dan remaja. Program literasi digital menjadi salah satu strategi utama untuk mencegah maraknya konten negatif, ujaran kebencian, hingga pelecehan seksual online yang kini banyak menjerat pengguna muda internet.

Kolaborasi Kunci Wujudkan Pesantren Ramah Anak

Lebih jauh, Arifah Fauzi menegaskan bahwa perlindungan anak tidak dapat berjalan efektif tanpa kerja sama lintas sektor. Pemerintah, lembaga pendidikan, tokoh agama, dan masyarakat harus bersinergi dalam mencegah dan menangani kekerasan terhadap anak di berbagai lingkungan, termasuk pesantren.

Menurutnya, pendekatan kolaboratif menjadi kunci keberhasilan dalam menciptakan sistem perlindungan anak yang berkelanjutan. “Penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak memerlukan kolaborasi dan kerja sama dari seluruh pihak,” ujarnya.

Oleh sebab itu, ia mengajak seluruh elemen masyarakat, terutama para pengasuh pesantren, untuk menjadi garda terdepan dalam menciptakan lingkungan belajar yang aman, bebas kekerasan, dan berorientasi pada tumbuh kembang anak.

“Pesantren Ramah Anak adalah cermin tekad kita membangun Indonesia yang beradab dan berkeadilan. Mari kita jadikan pesantren sebagai rumah kasih bagi anak-anak kita,” tutur Arifah menutup pernyataannya.

Upaya ini sekaligus menegaskan komitmen pemerintah dalam melindungi hak-hak anak di segala sektor kehidupan, termasuk di lingkungan pendidikan berbasis keagamaan. Melalui sinergi antara pemerintah dan pesantren, diharapkan tidak hanya akan lahir generasi santri yang cerdas dan berakhlak, tetapi juga generasi yang melek digital dan mampu menjaga dirinya dari ancaman kekerasan di ruang maya.

Dengan demikian, pesantren diharapkan dapat menjadi contoh nyata bagi lembaga pendidikan lain dalam menciptakan lingkungan pembelajaran yang aman, nyaman, dan mendukung tumbuh kembang anak secara optimal.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index